Rabu, 14 Juli 2010

Ni-Dandelion


Sekitar 2 bulan lalu, topik di kelas CCF ngebahas tentang ganti nama. Ada seorang laki-laki setengah baya di Perancis yang ngurus pergantian nama, karena namanya khas Timur Tengah banget. Beliau penat. Setiap kali kenalan sama orang, pasti ditanya, ‘Senang tinggal di Perancis?’, dan pertanyaan macam itu, karena mengira dia orang asing yang lagi liburan di negeri nan romantis itu. Padaha dia sudah berkebangsaan Perancis sejak lahir; dia berbicara bahasa Perancis, dan melakukan aktivitas yang dilakukan orang Perancis pada umumnya—singkatnya dia ngerasa, dia tuh Perancis banget deh. Dia juga nemuin masalah di bank saat mau nyairin uang; padahal dia pebisnis yang notabene mesti sering berurusan dengan bank untuk transaksi yang gabisa dibilang sedikit. Akhirnya pergilah dia ke instansi yang ngurus pergantian nama. Dipilihnya nama ‘Robert’. Alasannya sederhana: Robert itu ‘nama semua orang’ alias umum banget (pasaran). Orang ga akan bertanya-tanya, dari etnis mana lo berasal, kalo nama lo Robert.

Mademoiselle Dwini (yang lebih seneng dipanggil Dwini aja karena katanya ‘mademoiselle’ ada tendensi ‘kapan nikahnya hayo??’ :p) nanya ke kita murid-muridnya. Seandainya bisa, mau gak ganti nama? Saya satu-satunya di kelas yang jawab ‘ya’. ‘Kenapa dengan nama kamu? Bagus kok’, tanya Dwini (dalam bahsa Perancis, tentunya). Gak ada yang salah dengan nama saya. Bagus dan gak biasa; saya suka. Tapi saya ngerasa lebih nyaman dengan nickname ‘Nidandelion’. Menurut saya, nama itu mewakili diri saya banget. Kebalikannya si laki-laki tadi, saya justru akan milih nama yang unik dan artistik, kalo dikasih kesempatan untuk ganti nama.
Terus saya baru ngeh, kalo saya belum pernah nyinggung asal nama ini di blog pribadi saya. Hahaha… Waktu di Bandung, temen-temen saya yang luar biasa unik punya nickname yang lekat banget sama sosok mereka. Ada ‘Sundea’ yang mengkikrarkan diri sebagai pacarnya Matahari, atau Pecandu Pagi yang hobi banget tidur menjelang pagi dan bangun saat matahari baru muncul. Akhirnya saya mikir, nama apa ya paling mewakili saya?

Teringatlah oleh saya bunga dandelion. Sahabat saya waktu SMA, pernah bikin saya pusing 8 keliling saat dia minta dikasih bunga dandelion di hari valentine (sahabat saya ini cewek, tapi kami bukan queer kok. Buat lucu2an aja ngerayain valentine kyak abg, hehee). Saya keliling2 pasar bunga di Gambir dan sekitarnya. Gak ada seorang penjual pun yang tahu, ‘Dandelion? Bunga kayak apa sih?’. Jujur, saat itu saya juga gak tahu gimana bentuk rupa bunga tersebut.

Pepatah ‘saat murid siap, guru akan datang’ ternyata bener. Ga berapa lama, saya buka-buka ensiklopedia serangga yang sering saya baca waktu masih kecil. Ada foto seekor semut yang lagi ngebawa setangkai benih dandelion (begitu tertulis di caption fotonya). Ohlala… ternyata bunga rumput itu tokh! Pantes aja gak dikenal di pasar bunga… hehehehehe. Lambat laun saya ikutan menggandrungi bunga ini. Saya pun akhirnya tahu, bunga ini sering banget saya lihat di rumput-rumput atau tepian got. Saat mekar, bunga ini sama sekali ga menarik—kuning biasa, bahkan sering dianggep tanaman pengganggu (meski sebenernya bisa digunain sebagai obat alami). Tapi saat bunganya udah kering, tinggal tersisa benih-benih dengan tangkai dan rambut-rambut putih halus, yang siap diterbangin angin. Cantik… banget! Meski sejatinya dandelion itu khusus mengacu pada tanaman yang tadi saya deskripsiin, saya menyebut semua bunga serupa—bunga rumput liar yang dilengkapi sayap berupa rambut halus agar benihnya bisa terbang ngikutin angin—sebagai dandelion. Ga peduli besar ato kecil; warna kuning, putih, atau ungu; saat kelopak bunga gugur dan hanya nyisasin bibit bersayap, mereka semua sama cantiknya kyak dandelion ‘beneran’.

Maka, saya gabunglah nama panggilan saya yang berawalan ‘ni-‘ dengan ‘dandelion’ :D. So, here I am: Nidandelion Pedestrian. Alasan mengagumi dandelion? Wah, banyak. Selain cantik banget saat terbang ditiup angin, dandelion mewakili segala hal tentang kedewasaan, kemandirian, dan journey. Mereka gak pernah tau ke mana angin akan nerbangin mereka. Kalau beruntung, benih akan mendarat di padang rumput subur di tepi sungai yang indah. Tapi bukannya ga mungkin, mereka akan berakhir di tempat pembuangan sampah, tanah tandus, atau tempat lain yang ga memungkinkan untuk hidup. But, it’s a journey! Life’s nothing but journey, right? Dan yang pasti, benih dandelion itu sama autisnya kayak saya. Awalnya, mereka lekat berhimpitan di tangkai bunga. Tapi akan tiba saatnya mereka lepas dari tangkai itu, dan terbang sendiri-sendiri…

2 komentar:

  1. Dandelion yang aku kenal adalah orang yang sangat mencintai kemandiriannya, jejak langkah kakinya, tiupan angin yang menyentuh ramah di pipinya, dan keberaniannya untuk bilang ke tukang ojek "Pinter deh, baru lulus SLB ya!" saat tukang ojek itu mengejek cara berjalannya. Hey kamu tukang ojek, you're choosing the wrong target ;D

    BalasHapus
  2. oh priska..and it's lucky to have you, butterfly, as my companion;to chase the dreams and feelings that money cant buy :)

    BalasHapus