Sabtu, 12 Mei 2012

Rokok: Dibuat Karya Seni, Jangan Dihisap!

Berhenti beli rokok = tiket ke Mesir. Bisa juga beli moge (motor gede, pen.) atau barang-barang kaum jetset macam L**IS VI***N atau B*R**N. Poster kampanye anti rokok ini digagas oleh Stivoro, agensi pengontrol konsumsi rokok di Belanda. Temanya sederhana tapi ngena: “What are you giving up to smoke?”
Poster menampilkan foto instalasi rokok berupa Piramida, motor besar dan barang-barang di etalase di toko branded. Tiap gambar tersusun dari lebih dari 7.000 batang rokok—jumlah rokok yang setara dengan konsumsi 20 batang rokok/hari selama setahun. Kalau uang untuk beli rokok sebanyak ini ditabung, cuma dalam setahun, kita bisa liburan dan lain-lain.
Memang, di Indonesia, agak berlebihan kalau mbayangin bisa ke Mesir dengan ‘puasa’ rokok setahun, mengingat harga sebungkus rokok di negeri ini ‘cuma’ belasan ribu rupiah. Kalau diakumulasi setahun, sekitar 4-5 juta. Yaa.. cukuplah untuk liburan ke Bali atau belajar diving.
Poster anti rokok ini nggak hanya catchy secara visual. Secara tersirat, dalam bahasa yang sangat halus tanpa menggurui, kita disadarkan, betapa banyak uang yang bisa kita hemat ‘hanya’ dengan berhenti merokok. Ngaku deh, perokok mana yang nggak tahu bahaya dari rokok? Jelas-jelas di kemasannya dicantumin. Bahkan di banyak negara, lebih ekstrim lagi; kemasan rokok disertai foto-foto berbagai penyakit yang bisa terjadi akibat rokok. Toh, peminat rokok nggak kunjung surut. “Itu kan terjadi sama orang lain, gue sehat-sehat aja sampai sekarang.” Disadari atau tidak, ini pasti ada di pikiran perokok. Ini juga salah satu faktor denial yang bikin sulit untuk berhenti merokok.
Nah kalau urusannya soal kocek, beda lagi. Kalau dipikir-pikir, sebagian besar dari kita kita mungkin lebih peduli soal dompet ketimbang kesehatan (miris, memang). Dari sekian banyak orang yang abai terhadap bahaya rokok, mungkin sekian persennya akan mikir: “Iya lho, kalau uang buat rokok ditabung, tahun depan rekening bank bakalan makin gendut.” Ini yang disasar oleh Stivoro dan dieksekusi secara sempurna melalui tiga poster keren tersebut. Bukannya nakut-nakutin, mereka dengan cerdas menggambarkan secara gamblang, kebaikan secara ekonomi yang bisa kita dapat tanpa rokok.
Keukeuh nggak mau berhenti merokok karena khawatir terhadap nasib petani tembakau kalau perusahaan rokok gulung tikar? Jadiin aja rokok sebagai proyek yang produktif. Jangan dibakar dan dihisap, tapi bikin instalasi macam-macam dari rokok, kayak iklan dari Stivoro tea, terus jualin deh. Kalau ada lukisan dari cangkang telur atau bulu ayam, sekarang trennya: lukisan dari rokok. Siapa tahu, ternyata ada bakat seni terpendam yang selama ini menunggu untuk dibangunkan. Sambutlah sang Maestro lukisan rokok! Bayangkan lukisan-lukisan ini betebaran di galeri seni ternama di seantero dunia. Yah,seapes-apesnya, mungkin bisa jadi tren untuk hantaran pernikahan. Dare to try?
Sumber:
http://www.bangstyle.com/2012/04/cigarette-art-anti-smoking-campaign/
http://www.mymodernmet.com/profiles/blogs/iris-amsterdam-stivoro-what-are-you-giving-up?utm_medium=referral&utm_source=pulsenews
http://adage.com/article/creativity-pick-of-the-day/dutch-anti-smoking-campaign-cigarettes-art/234001/
http://aafprofessional.wordpress.com/2012/04/09/anti-smoking-messages-and-persuasion/

Jumat, 11 Mei 2012

Rumah Amfibi Anti Banjir

Dahi saya mengernyit saat membaca artikel tentang “la quartier amphibie” (daerah amfibi) di Belanda, dalam buku pelajaran bahasa Perancis kala kursus di CCF. Nggak mudeng. Perumahan katak untuk antisipasi banjir; maksudnya? Jadilah saya berdecak kagum setelah Madame Habibah, guru kami, menjelaskan tentang fenomena canggih ini.
Kita tahu, Belanda sangat datar dan sebagian tanahnya berada di bawah atau sedikit di atas permukaan laut. Sesuai namanya yang berarti “negeri yang rendah”. Maka bagi Belanda, pemanasan global sangat mengkawatirkan. Apa jadinya jika kian banyak es di kutub yang mencair dan permukaan laut kian tinggi? Pastinya nasib Belanda akan jauh lebih buruk ketimbang Jakarta yang terendam kala hujan deras atau banjir rob. Belum lagi, ada tiga sungai besar di Eropa yang melintasi Belanda dalam pengembaraan mereka menuju laut: Meuse (Maas), Rhine (Rijn), dan Scheldt (Schelde), yang tentu berpotensi menimbulkan banjir. Hebatnya, ancaman ini justru melebarkan sayap pencapaian Belanda. Betul kata anekdot, “Tuhan menciptakan dunia, dan orang Belanda menciptakan Belanda.” Terciptalah rumah amfibi yang membentuk kota ‘anti air’. “Kita tidak bisa melawan air, yang harus kita lakukan adalah belajar hidup bersama air,” ucap Sybilla Dekker, Menteri Perumahan, Perencanaan Ruang dan Lingkungan Belanda 2003-2006.
Salah satu perumahan amfibi yang pertama dibuat ada di Maasbommel, tepat di sisi sungai Maas. Secara fisik, rumah-rumah ini tidak berbeda dengan rumah ‘normal’. Tapi, cobalah berkunjung ke sana saat permukaan sungai naik dan air meluap hingga banjir. Si empunya rumah hanya akan mengobrol di teras sambil menyesap teh seperti biasa, bukannya panik dan buru-buru memindahkan barang-barang ke lantai atas. Silakan banjir, rumah akan mengapung mengikuti kenaikan permukaan air!
Gudang bawah tanah rumah tidak dibangun di tanah, melainkan di atas peron dari beton. Gudang ini tidak hanya sebagai ruang penyimpanan, melainkan juga sebagai rongga yang berfungsi layaknya lambung kapal yang menghasilkan daya apung. Nggak perlu was-was rumah akan hanyut terbawa arus air karena rumah ditambatkan dengan sliding ring ke tiang-tiang baja. Jadi begitu banjir usai, rumah pun kembali menjejak tanah di tempatnya semula. Lantas, bagaimana dengan listrik, gas, air dan pembuangan? Semua ini terbungkus rapi melalui pipa fleksibel yang berada di dalam tiang baja.
(Salah satu tiang penambat rumah)
Rumah-rumah ini belum mengapung, namun diprediksi, akibat perubahan iklim, akan terjadi banjir di Belanda setiap 12 tahun. Kementrian Pengelolaan Air dan Lalu Lintas Belanda telah merancang 15 area perumahan, bisnis bahkan pertanian yang bisa mengapung.
Jenius! Inilah ketika kreativitas, imajinasi, seni dan ilmu pengetahuan diramu secara apik. Bukannya terpikir untuk membangun tanggul maha tinggi di sepanjang sungai seperti pemikiran orang kebanyakan, mereka melompat jauh dan menciptakan perumahan yang tahan banjir. Orang Belanda menyadari, tanggul bisa menjadi senjata makan tuan. Jika sungai banjir dan permukaan laut naik hingga melewati tanggul, semua akan tenggelam dan tersapu air. Lebih gawat lagi, air yang sudah masuk, jadi terperangkap; tidak bisa keluar lagi karena terhalang tanggul. Tamatlah riwayat belanda. Konsep “rumah amfibi” menjawab persoalan ini. Ini seperti letupan yang membangunkan kita dari tidur berkepanjangan: kata siapa kita harus tinggal di tanah kering? Solusi cerdas yang luar biasa cocok diterapkan di Jakarta. Mungkin nggak ya?
Sumber: http://www.spiegel.de/international/spiegel/0,1518,377050,00.html
http://inhabitat.com/amphibian-houses-rising-water/
http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=18480769
http://www.csmonitor.com/2005/1026/p13s02-lihc.html