Jumat, 11 Mei 2012

Rumah Amfibi Anti Banjir

Dahi saya mengernyit saat membaca artikel tentang “la quartier amphibie” (daerah amfibi) di Belanda, dalam buku pelajaran bahasa Perancis kala kursus di CCF. Nggak mudeng. Perumahan katak untuk antisipasi banjir; maksudnya? Jadilah saya berdecak kagum setelah Madame Habibah, guru kami, menjelaskan tentang fenomena canggih ini.
Kita tahu, Belanda sangat datar dan sebagian tanahnya berada di bawah atau sedikit di atas permukaan laut. Sesuai namanya yang berarti “negeri yang rendah”. Maka bagi Belanda, pemanasan global sangat mengkawatirkan. Apa jadinya jika kian banyak es di kutub yang mencair dan permukaan laut kian tinggi? Pastinya nasib Belanda akan jauh lebih buruk ketimbang Jakarta yang terendam kala hujan deras atau banjir rob. Belum lagi, ada tiga sungai besar di Eropa yang melintasi Belanda dalam pengembaraan mereka menuju laut: Meuse (Maas), Rhine (Rijn), dan Scheldt (Schelde), yang tentu berpotensi menimbulkan banjir. Hebatnya, ancaman ini justru melebarkan sayap pencapaian Belanda. Betul kata anekdot, “Tuhan menciptakan dunia, dan orang Belanda menciptakan Belanda.” Terciptalah rumah amfibi yang membentuk kota ‘anti air’. “Kita tidak bisa melawan air, yang harus kita lakukan adalah belajar hidup bersama air,” ucap Sybilla Dekker, Menteri Perumahan, Perencanaan Ruang dan Lingkungan Belanda 2003-2006.
Salah satu perumahan amfibi yang pertama dibuat ada di Maasbommel, tepat di sisi sungai Maas. Secara fisik, rumah-rumah ini tidak berbeda dengan rumah ‘normal’. Tapi, cobalah berkunjung ke sana saat permukaan sungai naik dan air meluap hingga banjir. Si empunya rumah hanya akan mengobrol di teras sambil menyesap teh seperti biasa, bukannya panik dan buru-buru memindahkan barang-barang ke lantai atas. Silakan banjir, rumah akan mengapung mengikuti kenaikan permukaan air!
Gudang bawah tanah rumah tidak dibangun di tanah, melainkan di atas peron dari beton. Gudang ini tidak hanya sebagai ruang penyimpanan, melainkan juga sebagai rongga yang berfungsi layaknya lambung kapal yang menghasilkan daya apung. Nggak perlu was-was rumah akan hanyut terbawa arus air karena rumah ditambatkan dengan sliding ring ke tiang-tiang baja. Jadi begitu banjir usai, rumah pun kembali menjejak tanah di tempatnya semula. Lantas, bagaimana dengan listrik, gas, air dan pembuangan? Semua ini terbungkus rapi melalui pipa fleksibel yang berada di dalam tiang baja.
(Salah satu tiang penambat rumah)
Rumah-rumah ini belum mengapung, namun diprediksi, akibat perubahan iklim, akan terjadi banjir di Belanda setiap 12 tahun. Kementrian Pengelolaan Air dan Lalu Lintas Belanda telah merancang 15 area perumahan, bisnis bahkan pertanian yang bisa mengapung.
Jenius! Inilah ketika kreativitas, imajinasi, seni dan ilmu pengetahuan diramu secara apik. Bukannya terpikir untuk membangun tanggul maha tinggi di sepanjang sungai seperti pemikiran orang kebanyakan, mereka melompat jauh dan menciptakan perumahan yang tahan banjir. Orang Belanda menyadari, tanggul bisa menjadi senjata makan tuan. Jika sungai banjir dan permukaan laut naik hingga melewati tanggul, semua akan tenggelam dan tersapu air. Lebih gawat lagi, air yang sudah masuk, jadi terperangkap; tidak bisa keluar lagi karena terhalang tanggul. Tamatlah riwayat belanda. Konsep “rumah amfibi” menjawab persoalan ini. Ini seperti letupan yang membangunkan kita dari tidur berkepanjangan: kata siapa kita harus tinggal di tanah kering? Solusi cerdas yang luar biasa cocok diterapkan di Jakarta. Mungkin nggak ya?
Sumber: http://www.spiegel.de/international/spiegel/0,1518,377050,00.html
http://inhabitat.com/amphibian-houses-rising-water/
http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=18480769
http://www.csmonitor.com/2005/1026/p13s02-lihc.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar