Senin, 27 April 2015

Memanen Air dari Udara

Presiden Amerika Serikat ke-35 John F. Kennedy (alm) sekali waktu berkata, “Siapa pun yang dapat menyelesaikan masalah air, pantas mendapatkan dua penghargaan Nobel – satu untuk perdamaian dan satu lagi untuk ilmu pengetahuan.” Meski 70% planet kita diselimuti air, hanya 2,5% yang berupa air segar, dan hanya 1%-nya yang bisa diakses dengan mudah. Intinya, air yang tersedia untuk 6,8 miliar orang berasal hanya dari 0,007% air di bumi!

Organisasi nirlaba Water.org menyebutkan, 750 juta orang di bumi kekurangan akses terhadap air bersih. Sementara itu, dalam satu abad terakhir ini, penggunaan air meningkat hingga >2 kali lipat peningkatan populasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, pada 2025 sekitar 1,8 miliar orang akan hidup di daerah yang terancam kelangkaan air. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali bahkan berucap, perang berikutnya di Timur Tengah akan terjadi akibat air, bukan politik.

Negara kita tidak luput dari masalah kelangkaan air. Di beberapa daerah, air bersih sangat sulit didapat. Untuk kebutuhan makan-minum saja kurang. Seorang teman pernah bercerita tentang pengalamannya tinggal di sebuah pulau kecil di Indonesia Tengah, untuk mengikuti kegiatan Pramuka ketika SMA. Begitu minimnya sumber air di pulau tersebut, maka untuk urusan buang hajat, pilihannya ada tiga: di hutan (sembari ditungguin babi hutan yang siap mencaplok buangan hajat), di pantai, atau meminjam kakus milik kepala desa. Pilihan terakhir terdengar paling mewah, tapi jangan berharap terlalu banyak. Kakus yang dimaksud yakni bilik kecil dengan lubang dalam di tanah, dan dua bilah kayu di atas lubang tersebut, sebagai pijakan untuk nongkrong. Tentunya, ‘peninggalan’ dari semua orang yang pernah menggunakan kakus tersebut menumpuk di dalam lubang. Dengan sanitasi yang demikian minim, tidak heran bila angka kematian balita akibat diare masih saja tinggi di indonesia.

Idealnya, tiap orang bisa mendapat cukup air untuk kebutuhan pribadi dan domestik (50-100 liter air/orang/hari). Air pun harus aman, bersih, terjangkau (tidak lebih dari 3% pendapatan rumah tangga), dan mudah diakses (jarak sumber air dari rumah maksimal 1.000 m, dan waktu untuk yang dibutuhkan tidak lebih dari 30 menit). Namun, mungkinkah daerah yang minim atau tidak memiliki sumber air tanah mencapai hal ini? Ya. Selama ada udara, maka menciptakan sumber air bukan hal yang mustahil. Tidak lain karena di dalam udara, terkandung uap air yang bisa ‘dipanen’.

Mengambil air dari udara sebenarnya bukan barang baru. Hal ini bahkan telah dilakukan secara tradisional sejak >2.000 tahun di berbagai kebudayaan, utamanya di Asia dan Amerika Tengah. Secara modern, salah satu inovator pengembang teknologi panen air yakni perusahaan asal Friesland, Belanda, Dutch Rainmaker (DRM).

Untuk menggerakkan mesin yang bekerja mengekstrasi air dari udara, digunakan energi angin, sehingga tidak menambah beban akan kebutuhan energi fosil. Meski ukuran kincir angin yang digunakan relatif kecil (10-20 kali lebih kecil daripada rerata kincir angin di Belanda), DRM dapat memroduksi +7.000 liter air/hari.

Kincir angin dan mesin DRM

Prinsip kerja DRM

Cara kerja teknologi ini relatif sederhana. Turbin angin menggerakkan pompa panas, yang digunakan untuk mendinginkan udara yang mengalir masuk. Pendinginan akan mengurangi kemampuan udara menahan air, sehingga kelebihan air di udara akhirnya memadat dan menjadi titik-titik air; serupa dengan proses terjadinya hujan. Air yang ‘diekstraksi’ ini lantas ditampung dalam kompartemen penyimpanan, untuk kemudian digunakan.

Volume air yang dihasilkan akan berbeda di tiap daerah, tergantung dari suhu dan kelembaban lingkungan setempat. Sebagai ilustrasi, 1 kg udara dengan suhu 20 oC dan RH (relative humidity) 50%, mengandung 7 gr air, sementara suhu 30 oC dan RH 50% mengandung hampir 14 gr air. Teknologi ini paling baik digunakan di daerah dengan humiditas tinggi (RH >50%) dan temperatur 20-40 oC. Terletak di garis Khatulistiwa, udara di Indonesia pada umumnya lembab, dengan rerata RH berkisar antara 70-90%, dan temperatur rerata >20 oC. Kondisi ini berbeda di tiap daerah, tapi umumnya seperti ini, dan relatif konstan sepanjang tahun; perubahan yang terjadi mengikuti musim tidak terlalu besar. Dengan kondisi demikian, ciamik sekali bila DRM diboyong ke Indonesia.

Sejauh ini, DRM telah diaplikasikan di kota Leeuwarden, Belanda, dan Um Al Himam, Kuwait. Kedua tempat ini memiliki kondisi topografi dan iklim yang sangat berbeda. Toh, implantasi DRM di kedua tempat tersebut sukses menghasilkan panen air. Tanpa perlu disambungkan dengan jaringan energi dan/atau infrastruktur air yang sudah ada, DRM bisa dibangun tepat di daerah yang membutuhkan. Tidak pula perlu membangun instalasi jaringan dan transportasi air yang mahal dan rumit. Sehingga, akan sangat bermanfaat bagi daerah terpencil.
DRM juga mengembangkan sistem untuk menanen air dari air (water to water). Pompa panas yang dihasilkan dari tenaga baling-baling kincir angin, memicu proses evaporasi dari air laut/air berpolusi. Hasilnya, air murni yang bisa digunakan untuk kebutuhan minum, sanitasi atau irigasi.

Yang tidak kalah menarik yakni Fontus yang diciptakan oleh mahasiswa disain Kristof Retezar, dan menyabet penghargaan James Dyson Award. Tanpa instalasi besar dan rumit, Fontus sangat simple dan mobile, diperuntukkan bagi para pengendara sepeda. Alat ini cukup dipasang di sepeda; kunci prinsip kerjanya yakni pendinginan termoelektrik. Fontus dapat memanen 0,5 L air selama satu jam bersepeda.

Prinsip kerja Fontus

Pada bagian tengah Fontus, terdapat pendingin kecil Peltier Element, yang terbagi menjadi dua bagian: sisi atas dingin, dan sisi bawah panas. Sistem panas-dingin ini bekerja dari energi listrik yang dihasilkan panel surya pada bagian atas Fontus. Untuk menciptakan pengembunan, mendinginkan udara yang panas dan lembab. Saat sepeda dikendarai, udara akan masuk pada ruangan bawah dan menyejukkan bagian yang panas. Selanjutnya, udara masuk ke ruangan atas dan alirannya diperlambat dengan dinding-dinding kecil sehingga memberikan kesempatan bagi udara untuk melepaskan molekul-molekul airnya. Titik-titik air lalu mengalir ke dalam botol yang dipasang vertikal. Segala jenis botol plastik PET ukuran 0,5 L bisa digunakan.

Fontus di sepeda

Bagi pesepeda seperti saya, Fontus adalah angin segar; kekhawatiran kehabisan minum di tengah jalan sementara tidak ada toko untuk membeli minuman di sekitar TKP, lenyap sudah. Tentunya, bawaan makin ringan karena tidak perlu terlalu banyak membawa suplai air, dan pastinya lebih hemat karena tidak perlu membeli air dalam kemasan.
DRM dan Fontus mungkin hanya setitik kecil dalam samudra inovasi air. Namun solusi yang ditawarkan tidak bisa dibilang sepele. Pantas rasanya bila kita memberikan apresiasi selevel dua Nobel untuk Negeri van Orange, untuk pencapaian mereka mengatasi kelangkaan air.


Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Climate_of_Indonesia
http://water.org/water-crisis/water-facts/water/
http://unu.edu/media-relations/releases/water-called-a-global-security-issue.html
http://environment.nationalgeographic.com/environment/freshwater/freshwater-crisis/
http://www.waterworld.com/articles/wwi/print/volume-29/issue-1/regional-spotlight/kuwait-proving-ground-for-the-rainmaker/wind-of-change-water-from-air.html
http://dutchrainmaker.nl/
http://dutchrainmaker.nl/products/air-to-water/
http://dutchrainmaker.nl/products/water-to-water/
http://www.jamesdysonaward.org/nl/projects/fontus-2/
http://www.engadget.com/2014/11/18/fontus-water-bottle/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar