Selasa, 04 Mei 2010

Asal Muasal Seorang Pejalan Kaki (Pedestrian) Autistik (Autistic Pedestrian)

PEDESTRIAN. Pertama kali mendengar kata ini waktu les bahasa Inggris saat SMA, saya langsung jatuh cinta. Ada beberapa lagi sih kata dalam bahasa Inggris yang saya suka. Misalnya port, morose, pirate. Buat saya, mereka terdengar merdu, hehe.

Kembali ke pedestrian. Seiring bertambah waktu (dan usia, hehe), kayaknya kok saya makin terobsesi dengan kata menyenangkan ini. Tanpa saya sadari, ternyata saya suka banget—bahkan tergila-gila dengan berjalan kaki!

Awalnya sih karena terpaksa. Rumah saya terletak di Perumnas, jadi kalau mau ketemu bis / angkot, harus rela jalan kaki nyusurin gang-gang, yang untungnya ga banyak ‘ranjau’, hehe. Sekolah pun demikian. Waktu SD sih gak terlalu berasa karena jaraknya hanya selemparan BH. Waktu SMP, jarak rumah-sekolah mungkin sekitar 3x jarak ke SD dari sekolah. Ada angkot, tapi dari rumah tetep harus ke jalan nunggu angkot. Turun angkot pun, masih harus jalan lumayan ke sekolah. Jadi, mending sekalian aja jalan kaki dari rumah. Sempat sih terpikir betapa enaknya jadi tikus got; ngegunain fasilitas gorong-gorong di bawah jalan aspal menuju ke sekolah; harus panas-panasan… SMA ada peningkatan, yakni naik metromini.

Waktu kuliah, medan berjalan kaki lebih berat. Kost-an saya ada di ujung kompleks. Perlu waktu 5 menit lebih untuk mencapai dunia luar, plus tanjakan berkerikil yang sering makan korban. Sering loh para penghuni kosan keperosok, dan jadi deh tangan-kaki beset-beset. Plus malunya itu lho…hehe (untungnya, jarang ada saksi mata selain teman seperjalanan).

Turun angkot di depan kampus, masih harus berjuang gila-gilaan. Sampe bunderan kampus masih oke. Nah, dari sana, trek mulai menanjak. Saya kuliah di Sastra: ada 2 jalur yang bisa ditempuh: muter lewat FISIP, atau potong jalan lewat tanjakan yang begitu bekennya di kalangan anak Sastra: Tanjakan Cinta. Mungkin dinamain demikian karena hanya dengan cinta dan perjuanganlah kita bisa melaluinya! Jangan coba-coba nanjak sambil ngobrol kalau gak mati mendadak keabisan nafas, hehe. Bisa dipastiin, tawa dan senyum lenyap ga berbekas kala mendaki. Coba bayangkan rasanya kalau telat! Nyesel… banget milih kost-an jauh dengan medan berat, dan kuliah di Sastra dengan Tanjakan Cinta-nya. Weleh. Bayangkan lagi harus melalui itu semua dengan rok panjang dan kemeja selama sebulan pertama kuliah, waktu MABIM. Untungnyaaaaa itu semua sudah berakhir!!!

Tapi ternyata, tanpa disadari, saya nemuin kenikmatan saat jalan kaki. Indah banget saat matahari pagi menyentuh wajah. Maka buat saya, lirik lagu Blur, ‘feel the sunshine on your face…’ itu indah banget.

Nah, saya mulai kenalan dengan macam-macam masalah yang lumayan ‘dalem’, ya saat kuliah. Waktu itulah saya menyadari, tanpa sadar saya selalu jalan kaki saat lagi gundah gulana galau dan gelisah. Entah kenapa, saat mengalami 4G tersebut,otomatis kaki saya melangkah. Bisa ke mana aja. Kadang hanya dari kampus menuju kost-an (padahal di bawah matahari Jatinangor yang jumlahnya ada 3 lho! Alias terik dan puanaaasss buangettt!). Kadang dari kost-an keluar kompleks, lalu jalan-jalan di sekitar sana. Kadang ke Bandung, naik angkot ke mana aja, lalu turun dan jalan kaki kalo nemu tempat yang enak. Itu obat mujarab banget buat saya. Selepas jalan kaki, hati saya rasanya ringan, otak kembali bisa mikir jernih, dan masalah ga lagi terasa segitu beratnya.

Yah, tanpa saya sadari (duh, lagi-lagi kata ini), mungkin ini yang membuat saya jadi merasa ‘ketergantungan’ terhadap jalan kaki. Seingat saya, sejak kembali ke Jakata setelah lulus, saya mengikrarkan diri sebagai PEDESTRIAN. Bukannya gak cinta bahasa Indonesia sehingga saya gak gunain kata ‘Pejalan Kaki’. Alasannya, seperti yang sudah saya bilang di awal tulisan. Saya suka sekali kata PEDESTRIAN. Indah di telinga.

Oh iya, kenapa juga dengan autistik? Saya pikir sih, saya menyandang autistic behavioural syndrome. Atau secara harfiah, sindrom berkelakuan autis. Saya terbiasa banget melakukan segala hal sendiri sejak kecil; alhasil jarang minta tolong atau nanya orang. Waktu nge-kost, sindrom ini makin ‘terasah’. Ya iyalah, begitu masuk kamar dan nutup pintu, temen kost pasti ngerti kalau saya lagi mau sendirian. Apalagi kamar saya begitu nyamannya, jadi seneng nghabisin waktu sendirian di kamar. Dan lagi karena sering jalan kaki sendirian, saya pun makin autis, tis, tis, tis….

2 komentar:

  1. Akhirnya ada blog juga....Ceritanya bagus. Gua mau sih diajak jalan, asal jangan panas-panasan aja...Plus ngga banyak asap kendaraan yang bisa bikin sesak napas...

    Selamat bergabunng di dunia blog ya :D

    BalasHapus
  2. berusaha keras melawan kemalasan menulis keseharian.. you inspire me much my dear! :D

    BalasHapus